Asal-usul Penetapan 25 Desember sebagai Hari NATAL
Asal-usul
Penetapan 25 Desember sebagai Hari NATAL
Sesungguhnya,
tidak seorang pun tahu kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan ke dalam
dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman kuno yang menyatakan dan
membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang saksi hidup yang bisa
ditanyai.
Berlainan
dari tuturan kisah-kisah kelahiran Yesus yang dapat dibaca dalam pasal-pasal
permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, sebetulnya pada waktu Yesus dilahirkan,
bukan di Betlehem, tetapi di Nazaret, tidak banyak orang menaruh perhatian pada
peristiwa ini. Paling banyak, ya selain ayah dan ibunya, beberapa tetangganya
juga ikut sedikit disibukkan oleh kelahirannya ini, di sebuah kampung kecil di
provinsi Galilea, kampung Nazaret yang tidak penting.
Baru ketika
Yesus sesudah kematiannya diangkat menjadi sang Mesias Kristen agung oleh
gereja perdana, atau sudah dipuja dan disembah sebagai sang Anak Allah, Raja
Yahudi, dan Juruselamat, disusunlah kisah-kisah kelahirannya sebagai kelahiran
seorang besar yang luar biasa, seperti kita dapat baca dalam pasal-pasal awal
Injil Matius dan Injil Lukas (keduanya ditulis sekitar tahun 80-85 M). Penulis
Injil Kristen tertua intrakanonik, yakni Injil Markus (ditulis tahun 70 M),
sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah kisah kelahiran
Yesus.
Dalam tuturan
penulis Injil Lukas, kelahiran Yesus diwartakan sebagai kelahiran seorang tokoh
Yahudi yang menjadi pesaing Kaisar Agustus, yang sama ilahi dan sama
berkuasanya, yang kelahiran keduanya ke dalam dunia merupakan “kabar baik”
(euaggelion) untuk seluruh bangsa karena keduanya adalah “Juruselamat” (sōtēr)
dunia (bdk Lukas 2:10,11 dan prasasti dekrit Majelis Provinsi Asia tentang
Kaisar Agustus yang dikeluarkan tahun 9 M). Dalam tuturan penulis Injil Matius,
kanak-kanak Yesus yang telah dilahirkan, yang diberitakan sebagai kelahiran
seorang Raja Yahudi, telah menimbulkan kepanikan pada Raja Herodes Agung yang
mendorongnya untuk memerintahkan pembunuhan semua anak di Betlehem yang berusia
dua tahun ke bawah (Matius 2:2, 3, 16).
Dalam
kisah-kisah kelahiran Yesus dalam kedua injil inipun, bahkan dalam seluruh
Perjanjian Baru, tidak ada suatu catatan historis apapun yang menyatakan
tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Jika demikian, bagaimana
tanggal 25 Desember bisa ditetapkan sebagai hari kelahiran Yesus, hari Natal?
Dalam kebudayaan kuno Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi, ada dua cara yang dapat
dilakukan untuk menetapkan hari kelahiran Yesus.
Cara pertama
Seperti
dicatat dalam dokumen Yahudi Rosh Hashana (dari abad kedua), sudah
merupakan suatu kelaziman di kalangan Yahudi kuno untuk menyamakan hari
kematian dan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel. Dengan sedikit
dimodifikasi, praktek semacam ini diikuti oleh orang-orang Kristen perdana
ketika mereka mau menetapkan kapan Yesus Kristus dilahirkan. Sebetulnya,
praktek semacam ini berlaku hampir universal dalam orang menetapkan hari
kelahiran tokoh-tokoh besar dunia yang berasal dari zaman kuno. Dalam
kepercayaan para penganut Buddhisme, misalnya, hari kelahiran, hari pencapaian
pencerahan (samma sambuddha) dan hari kematian (parinibbana) Siddharta Gautama
sang Buddha dipandang dan ditetapkan (pada tahun 1950 di Sri Langka) terjadi
pada hari yang sama, yakni Hari Waisak atau Hari Trisuci Waisak.
Ketika
orang-orang Kristen perdana membaca dan menafsirkan Keluaran 34:26b (bunyinya,
“Janganlah engkau memasak anak kambing dalam susu induknya”), mereka
menerapkannya pada Yesus Kristus. “Memasak anak kambing” ditafsirkan oleh
mereka sebagai saat orang Yahudi membunuh Yesus; sedangkan frasa “dalam susu
induknya” ditafsirkan sebagai hari pembenihan atau konsepsi Yesus dalam rahim
Bunda Maria. Dengan demikian, teks Keluaran ini, setelah ditafsirkan secara
alegoris, menjadi sebuah landasan skriptural untuk menetapkan bahwa hari
kematian Yesus sama dengan hari pembenihan janin Yesus dalam kandungan ibunya,
sekaligus juga untuk menuduh orang Yahudi telah bersalah melanggar firman Allah
dalam teks Keluaran ini ketika mereka membunuh Yesus.
Kalau kapan
persisnya hari kelahiran Yesus tidak diketahui siapapun, hari kematiannya bisa
ditentukan dengan cukup pasti, yakni 14 Nisan dalam penanggalan Yahudi kuno,
dan ini berarti 25 Maret dalam kalender Gregorian. Sejumlah bapak gereja,
seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius, Tertullianus, Hippolytus, dan juga
sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus, menyatakan bahwa hari kematian
Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret. Demikian juga, Sextus Julianus Afrikanus
(dalam karyanya Khronografai, terbit tahun 221), dan Santo Agustinus
(menulis antara tahun 399 sampai 419), menetapkan 25 Maret sebagai hari
kematian Yesus. Dengan demikian, hari pembenihan janin Yesus dalam rahim Maria
juga jatuh juga pada 25 Maret.
Kalau 9 bulan
ditambahkan pada hari konsepsi Yesus ini, maka hari kelahiran Yesus adalah 25
Desember. Sebuah traktat yang mendaftarkan perayaan-perayaan besar keagamaan,
yang ditulis di Afrika dalam bahasa Latin pada tahun 243, berjudul De
Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus.
Hippolytus, dalam Tafsiran atas Daniel 4:23 (ditulis sekitar tahun
202), menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Sebuah karya
yang ditulis dengan tangan, dalam bahasa Latin, pada tahun 354 di kota Roma,
yang berjudul Khronografi, juga menyebut 25 Desember sebagai hari kelahiran
Yesus Kristus.
Meskipun
banyak dokumen dari abad ketiga sampai abad keempat menyebut tanggal 25
Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, tidak semua orang pada waktu itu
menyetujui adanya perayaan hari Natal. Origenes, teolog Kristen dari Aleksandria,
misalnya, dalam karyanya Homili atas Kitab Imamat, menyatakan bahwa “hanya
orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja Herodes yang merayakan hari ulang
tahun mereka.” Begitu juga, seorang penulis Kristen bernama Arnobus pada tahun
303 memperolok gagasan untuk merayakan hari kelahiran dewa-dewi.
Pada sisi
lain, kalangan Montanus menolak kalau kematian Yesus jatuh pada 25 Maret; bagi
mereka Yesus wafat pada 6 April. Dengan demikian 6 April juga hari konsepsi
Yesus dalam kandungan Maria, ibunya. Kalau setelah 6 April ditambahkan 9 bulan,
maka hari kelahiran Yesus jatuh pada 6 Januari. Di kalangan Gereja Timur (yang
berbahasa Yunani), berbeda dari Gereja Barat (yang berbahasa Latin), hari Natal
tidak dirayakan pada 25 Desember, tetapi pada 6 Januari.
Cara kedua
Sebelum
kekristenan lahir dan tersebar di seantero kekaisaran Romawi dan kemudian
dijadikan satu-satunya agama resmi (religio licita) kekaisaran melalui dekrit
Kaisar Theodosius pada tahun 381, orang Romawi melakukan penyembahan kepada
Matahari (= heliolatri).
Dalam
heliolatri ini, Dewa Matahari atau Sol menempati kedudukan tertinggi
dan ke dalam diri Dewa Sol ini terserap dewa-dewa lainnya yang juga disembah
oleh banyak penduduk kekaisaran, antara lain Dewa Apollo (dewa terang), Dewa
Elah-Gabal (dewa matahari Syria) dan Dewa Mithras (dewa perang bangsa Persia).
Heliolatri,
yakni pemujaan dan penyembahan kepada Dewa Sol sebagai Dewa Tertinggi, menjadi
sebuah payung politik-keagamaan untuk mempersatukan seluruh kawasan kekaisaran
Romawi yang sangat luas, dengan penduduk besar yang menganut berbagai macam
agama dan mempercayai banyak dewa.
Pada tahun
274 oleh Kaisar Aurelianus Dewa Sol ditetapkan secara resmi sebagai Pelindung
Ilahi satu-satunya atas seluruh kekaisaran dan atas diri sang Kaisar sendiri dan
sebagai Kepala Panteon Negara Roma. Menyembah Dewa Sol sebagai pusat keilahian
berarti menyentralisasi kekuasaan politik pada diri sang Kaisar Romawi yang
dipandang dan dipuja sebagai titisan atau personifikasi Dewa Sol sendiri.
Dalam
heliolatri ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari perayaan religius
utama untuk memuja Dewa Sol, hari perayaan yang harus dirayakan di seluruh
kekaisaran Romawi. Ketika winter solstice, saat musim dingin ketika
matahari (Latin: sol) tampak “diam tak bergeming” (Latin: sistere) di
titik terendah di kaki langit Eropa sejak tanggal 21 Desember, persis pada
tanggal 25 Desember matahari mulai sedikit terangkat dari kaki langit dan mulai
sedikit demi sedikit beranjak naik ke atas, seolah sang Sol ini hidup atau lahir
kembali. Peristiwa astronomikal ini ditafsir secara religius sebagai saat Dewa
Sol tak terkalahkan, bangkit dari kematian, yang dalam bahasa Latinnya disebut
sebagai Sol Invictus (=Matahari Tak Terkalahkan). Dengan demikian,
tanggal 25 Desember dijadikan sebagai Hari Kelahiran Dewa Sol Yang Tak
Terkalahkan, Dies Natalis Solis Invicti. Karena Kaisar dipercaya sebagai
suatu personifikasi Dewa Sol, maka sang Kaisar Romawi pun menjadi Sang Kaisar
atau Sang Penguasa Tak Terkalahkan, Invicto Imperatori, seperti diklaim
antara lain oleh Kaisar Septemius Severus yang wafat pada tahun 211.
Nah, ketika
kekristenan disebarkan ke seluruh kekaisaran Romawi, para pemberita injil dan
penulis Kristen, sebagai suatu taktik misiologis mereka, mengambil alih
gelar Sol Invictus dan mengenakan gelar ini kepada Yesus Kristus
sehingga Yesus Kristus menjadi Matahari Tak Terkalahkan yang sebenarnya. Mereka
memakai teks-teks Mazmur 19:5c-6 (“Ia memasang kemah di langit untuk Matahari
yang keluar bagaikan Pengantin laki-laki yang keluar dari kamarnya, girang
bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.”), Maleakhi 4:2 (“…
bagimu akan terbit Surya Kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.”) dan Lukas
1:78-19 (“Oleh rakhmat dan belas kasihan Allah kita, dengan mana Ia akan melawat
kita, Surya Pagi dari tempat yang tinggi.”) sebagai landasan skriptural untuk
menjadikan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sebenarnya.
Dengan
jadinya Yesus Kristus sebagai Sol Invictus baru, maka tanggal 25 Desember
sebagai hari natal Dewa Sol juga dijadikan hari Natal Yesus Kristus. Seorang
penulis Kristen perdana, Cyprianus, menyatakan, “Oh, betapa ajaibnya: Allah
Sang Penjaga, Pemelihara dan Penyelenggara telah menjadikan Hari Kelahiran
Matahari sebagai hari di mana Yesus Kristus harus dilahirkan.” Demikian juga,
Yohanes Krisostomus, dalam khotbahnya di Antikohia pada 20 Desember 386 (atau
388), menyatakan, “Mereka menyebutnya sebagai ‘hari natal Dia Yang Tak
Terkalahkan’. Siapakah yang sesungguhnya tidak terkalahkan, selain Tuhan
kita…?”
Selanjutnya,
mulai dari Kaisar Konstantinus yang (menurut sebuah mitologi Romawi) pada 28
Oktober 312 melihat sebuah tanda salib dan sebuah kalimat In Hoc Signo
Vinces (=“Dengan tanda ini, kamu menang”) di awan-awan, perayaan keagamaan
yang memuja Sol Invictus pada 25 Desember diubah menjadi perayaan keagamaan
untuk merayakan hari Natal Yesus Kristus. Dengan digantinya Dewa Sol dengan
Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sejati, dan tanggal 25
Desember sebagai hari Natal Yesus Kristus, sang Kaisar berhasil mengonsolidasi
dan mempersatukan seluruh wilayah negara Roma yang di dalamnya warga yang
terbesar jumlahnya adalah orang Kristen, yang, menurut Eusebius, adalah warga
“Gereja Katolik yang sah dan paling kudus” (Eusebius, Historia
Ecclesiastica 10.6).
Dan sejak itu
juga, para uskup/paus sama-sama mengendalikan seluruh kekaisaran Roma di
samping sang Kaisar sendiri; ini melahirkan apa yang disebut Kaisaropapisme.
Kalau sebelumnya heliolatri menempatkan Dewa Sol sebagai Kepala Panteon yang
menguasai seluruh dewa-dewi yang disembah dalam seluruh negara Romawi dan
sebagai pusat kekuasaan politik, maka ketika Yesus Kristus sudah menjadi Sol
Invictus pengganti, sang Kristus inipun mulai digambarkan sebagai sang Penguasa
segalanya (=Pantokrator), yang telah menjadi sang Pemenang (=Kristus Viktor) di
dalam seluruh kekaisaran Romawi.
Penutup
Jelas sudah,
tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Seperti
telah dinyatakan pada awal tulisan ini, kembali perlu ditekankan bahwa
sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno dan pada masa kini
mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan. Ketika Yesus baru
dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya beberapa orang saja yang
memedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat menjadi sang Kristus gereja dan
dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia baru menjadi penting dan
kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun disusun.
Pada zaman
gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya Yesus dilahirkan, meskipun
berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga orang tidak selalu
sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu dirayakan. Siapapun, dengan
suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa kini dapat menetapkan sendiri
hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat komunitas gerejanya. Sebetulnya,
cara merayakan Natal Yesus Kristus yang sebenarnya adalah dengan menjelmakan
kembali dirinya, terutama bela rasanya, dalam seluruh gerak kehidupan orang
yang menjadi para pengikutnya di masa kini.
Komentar
Posting Komentar